Spiga

Sang Buruh Pabrik yang Tangguh !

Namanya begitu populer di China. Namun siapa sangka, ratu properti ini masa kecilnya penuh dengan kesengsaraan.

Zhang Xin, sang ratu properti, menghabiskan masa kecilnya di lantai lima, rumah susun di pinggiran Beijing. Makan nasi ransum dengan mangkuk besi bersama anak-anak pekerja keras China yang lain.

Saat remaja, ia sempat menjadi buruh pabrik di Hong Kong. Bekerja 12 jam dengan shift. Saat kerja inilah, sedikit demi sedit, Zhang bisa mengumpulkan uang.

Pada usia 20, Zhang telah memiliki uang cukup, dan memutuskan hijrah ke Inggris. Dia mendapatkan bea siswa di Sussex. Kemudian, dia melanjutkan di Cambridge untuk menyelesaikan gelar master.

Kini, dua dekade setelah dia bekerja keras, Zhang bisa menatap dari lantai atas salah satu bangunan paling bergaya dan bergengsi di Beijing. Itulah bangunan miliknya, yang dibangun dari keringatnya sendiri. Zhang pun menjadi salah satu wanita terkaya dunia.

Baru-baru ini majalah Forbes menurunkan profil 10 perempuan miliarder dunia yang kekayaannya dari keringat sendiri. Bukan warisan maupun hibah. Salah satunya Zhang, yang memiliki kekayaan US$2 miliar atau sekitar Rp18 triliun.

Di bawah bendera SOHO, Zhang berhasil membangun kerajaan bisnis properti bersama suaminya. Dia berhasil mengubah cakrawala dari rumah beton kotor yang ia tinggali hingga 1970, menjadi gedung yang indah dan futuristik. “Pembangunan ini bertahap dan begitu lama,” kata dia kepada The Sunday Telegraph.

“Saya teringat ketika kami sedang berjuang membayar gaji dan tagihan. Bagaimana pun perusahaan harus terus bergerak meskipun dengan utang. Dengan kontrol biaya yang ketat, kami pun secara bertahap bisa mendapat keuntungan.”

Meski telah sukses, dia tidak mau memamerkan kekayaannya. Penampilannya sangat sederhana. Bila menggunakan make up, tidak begitu kentara. Begitu juga dengan perhiasan, juga tidak berlebih.

Ditanya mobil apa yang dia pakai, dia ragu-ragu. Namun akhirnya menjawab. “Oh, itu Lexus. Saya tidak tahu modelnya.”

Bahkan dengan triliunan rupiah kekayaan yang ia punya, Zhang tetap mempertahankan sikap hemat. Bila menggunakan pesawat, dia akan menolak menggunakan kelas satu. Padahal bagi dia, sangat mudah terbang ke mana pun dengan tiket paling mahal sekali pun.

“Ini bukan soal keterjangkauan, ini tentang hati nurani,” katanya. “Kelas bisnis ini sudah cukup nyaman.”

Zhang yang sekarang berusia 45, lahir di China. Tumbuh dewasa selama paruh kedua dari Revolusi Kebudayaan (1966-1976). Dia merupakan putri generasi ketiga imigran Tionghoa yang pindah ke Burma dan kembali lagi ke Beijing pada 1950.

Keluarga ini tinggal di sebuah bangunan utilitarian. Ibunya bekerja sebagai penerjemah resmi membantu menyebarluaskan pernyataan Deng Xiaoping dan Zhou Enlai. Saat sekolah, setiap siang Zhang pulang untuk makan nasi ransum dari kantin gedung itu.

“Hanya ada tiga jenis makanan, semua cukup buruk,” kenang dia. “Kami masing-masing memegang mangkuk nasi dan dibawa ke kantin. Petugas membagikan makanan dari wadah yang sangat besar,” kata dia sambil menunjuk foto pekerja konstruksi yang sedang mengantre makan di salah satu proyek bangunannya. “Rasanya seperti itu, hanya jauh lebih buruk.”

Saat itu, Zhang mengatakan, Beijing adalah kota muram. “Bangunan-bangunan itu kelabu, semua orang berpakaian abu-abu. Kami tidak pernah melihat langit. Tidak ada gagasan dari langit biru untuk sebuah kemakmuran,” katanya.

“Semua orang berpakaian sama, makan sama, perbedaan antara satu orang dengan lain sangat kecil. Mungkin sama seperti perbedaan satu rambut dengan rambut lain di kepala Anda,” ujar Zhang.

Bekerja sebagai buruh pabrik di Hong Kong baginya tidak jauh lebih baik. “Itu mengerikan,” katanya.

Setelah “melarikan diri” ke Inggris, pintu Zhang mulai terbuka. Dengan gelar master ekonomi pembangunan di tangannya, ia mendapat pekerjaan pertamanya di Goldman Sachs.

Pada 1994 ia kembali ke China, tergoda seperti ekspatriat lainnya yang terpikat oleh tawaran zona ekonomi khusus dan reformasi ekonomi.

Seorang teman menyarankan Zhang memulai bisnis properti. Pan Shiyi namanya. Dia yang datang dari keluarga lebih miskin dari Zhang, memandang masa depan bisnis properti sangat bagus.

Empat hari kemudian, Pan mengusulkan semua ide kepada perempuan itu. Lalu mereka mendirikan SOHO. Bersama Pan yang kemudian menjadi suaminya, Zhang memulai bisnisnya.

Pada 2007, perusahaan yang dibangunnya sempat kolaps dengan utang US$1,65 miliar, namun kemudian sedikit demi sedikit utang itu bisa direstrukturisasi. (hs)

Pentingnya Networking Untuk Kemajuan Bisnis


Networking Untuk Kemajuan Bisnis

Saya memiliki kebiasaan makan siang dengan beberapa teman. Ya, saya melakukannya untuk networking yang biasanya saya lakukan seminggu sekali atau 2 minggu sekali. Saya ajak untuk makan siang beberapa teman yang saya anggap memberikan kontribusi bagi kemajuan saya.

Nah, saya lihat terlalu banyak orang berdiskusi dan berbicara tanpa tujuan. Saya kalau datang ke sebuah meeting selalu mempunyai pemikiran untuk apa saya melakukan networking ini. Conversation/diskusi, meeting atau makan siang yang kita lakukan haryslah mempunyai purpose/tujuan apa. Apakah kita datang itu untuk minta tolong, minta nasehat atau apa. Ataukah hanya sekedar bertukar informasi. Karena informasi sangat penting bagi masa depan kita.

Kita harus tahu apa yang kita butuhkan dalam pertemuan itu. Apakah itu bertukar informasi, permintaan tolong, bertukar pemikiran. Tentu kalau kita bisa tahu tujuan itu tujuan bisnis sebelum meeting, kita beri tahu pada mereka, “Pak, saya nanti meeting tujuannya tentang hal ini.” Sehingga orang lain lebih siap. Dan kita harus berpikir apa yang bisa kita kontribusikan kepada orang itu. Apa yang bisa kita berikan menjadi berguna bagi dia. Dengan cara ini, dia juga akan membantu kita memberi informasi yang berguna untuk kita kelak.

Ada orang yang networking hanya untuk memperbesar jumlah networking/jaringan yang ada. Tentu saja itu oke saja. Kalau memang itu tujuannya, maka anda waktu bernetwork bisa memikirkan, “Lain kali saya butuh orang ini untuk apa, kapan ya saya bisa memakai orang ini untuk kepentingan bisnis saya.”

Tentu tidak enak menggunakan kata ‘memakai’. Tetapi dalam kehidupan, semua orang menggunakan semua orang untuk kemajuan bisnisnya. Dan itu sah-sah saja. Selama itu saling menguntungkan dan saling membantu. Kalau hubungan kita hanya dalam pertemuan itu hanya ‘have fun’, bersenang-senang, bersahabat saja, tentu ini oke juga. Asalkan dalam pertemuan itu menimbulkan kesenangan buat kita. Yang terpenting kita harus tahu mana dan apa yang cocok untuk kesuksesan kita.

Jangan semua networking hanya untuk main-main saja. Dan jangan semua networking hanya bertujuan bisnis yang sangat memusingkan saja. Tapi ada sebuah keseimbangan (balance) yang bisa kita tentukan mana untuk ‘have fun’, mana untuk diskusi, mama untuk mencapai solusi. Yang penting pada awal pertemuan kita tentukan tujuannya untuk apa.( Source : http://www.tanadisantoso.com/v50/BusinessWisdom/index.php?act=detail&wid=266)